Dari Kambing Hitam Menjadi Kampanye Hitam

Tuesday, May 27, 2014

Dari Kambing Hitam Menjadi Kampanye Hitam




Kampanye Pilpres (Pemilihan Presiden) belum dimulai. Namun berbagai kampanye hitam sudah menyebar dimasyarakat. Dunia maya khususnya media sosial menjadi pilihan para politisi untuk mencari simpatisan.
           Kampanye baru dijadwalkan 4-5 Juni mendatang, namun Pasangan capres-cawapres seringkali mendapatkan serangan kampanye hitam atau bahasa kerennya Black Campaign di media sosial, seperti  Facebook, Twitter, Path, atau Line.

Data Kementrian Komunikasi dan Informatika sepanjang November tahun lalu menunjukan, pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta orang. Sekitar 95% dari jumlah tersebut atau sekitar 60 juta orang memakai internet untuk bergabung dengan jaringan media sosial, 

Kampanye di media sosial memiliki kelebihan, yakni tidak dibatasi oleh waktu dan tanpa dipungut biaya, alias gratis. Jika dibandingkan dengan kampanye di televisi, iklan hanya tayang pada musim pemilu seperti sekarang dan tentunya dengan biayanya sangat mahal. Selain itu, dengan kampanye melalui media sosial politisi bisa berkomunikasi dua arah langsung dengan simpatisan. Cara seperti ini sangat efektif bukan?

Memang, alasan digunakannya kampanye hitam, yaitu untuk Pencitraan (branding). Pencitraan dengan bahasa yang positif semata tidaklah cukup. Oleh karena itu, perlu adanya strategi lain, yaitu menjatuhkan lawan. Seperti  idiom populer di dunia media bad news is good news.

Salah satunya Capres dari partai Gerindra, Prabowo Subianto. Beliau dinilai tahu dan turut bertanggung jawab atas penculikan dan penghilangan aktivis pada peristiwa 1998. Tidak hanya itu, Prabowo juga selaku pemilik PT Kertas Nusantara, yang terletak di Kab. Berau, Kalimantan Timur disinyalir memiliki hutang hingga Rp 14 triliun. Karyawan perusahaan ini juga dikabarkan tidak digaji selama lima bulan. Padahal, Syarat Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menurut UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilu berisi poin Presiden dan Wakil PresidenTidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.

Lain Prabowo, lain pula Jokowi. Capres dari PDIP itu terindikasi telah melakukan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dalam pengadaan bus Transjakarta dan BKTB senilai Rp 1 triliun. Lalu, muncul pula isu SARA, melalui iklan duka cita yang menyebar di Facebook dan Twitter. Dalam iklan tersebut teracntum foto Jokowi sebagai nasrani dengan nama lengkap Herbartus joko Widodo yang meninggal pada 4 mei lalu.

Meskipun secara umum orang tidak menyukai kampanye hitam atau bahkan menganggapnya sebagai perbuatan yang licik dan keji, mengapa bentuk kampanye ini masih terus dilakukan sebagai bagian dari strategi gerakan politik?

Jadi , apalah arti pesta demokrasi jika dalam permainannya diwarnai dengan adanya fitnah, permusuhan dan persaingan yang tidak sehat. Masyarakat dihimbau agar tidak terprovokasi isu-isu menyesatkan yang dilakukan oleh oknum- oknum tidak bertanggung jawab.

Resensi:
www.jawapos.com
www.suaramerdeka.com
Koran Tempo

0 Komentar :

Post a Comment