Aku Melihatnya, Aku Mengingatnya (2)
Naluri
jurnalis semakin bertambah. Mencoba menutupi rasa penasaran, aku berjalan
mendekatinya. Hanya mendekat dan berdiri jarak 2 meter darinya. Semakin dekat,
semakin jelas kupandang. Rasa aneh, masih terkumpul di otakku. Ingin menyapa,
tapi tak bisa apa-apa. Mungkin lain waktu.
“Jalur 4, masuk Commuterline tujuan Bekasi.” Petugas stasiun.
Kereta Bekasi siang itu lumayan ramai.
Aku berdiri di depan bangku penumpang. Tak disangka, ternyata pemuda itu
berdiri tepat di sebelah ku. Jantung ku seakan berpacu dengan laju kereta.
Deg-degan tidak karuan.
“Oh.. Tuhan, siapa sebenarnya pemuda
ini?”
Aku
sibuk berfikir siapa dia, dia sibuk dengan telepon genggamnya. Memandang keluar
jendela baru sadar tumben-tumbennya krl jalan begitu cepat, biasanya tak
sekencang ini. Aku larut dalam lamunan suatu kejadian yang tergambar dari
bayang kaca.
“Duh..” Jerit ku. Krl
tiba-tiba mengerem dengan kencang, membuat kaget seluruh penumpang.
“Maaf mbak, maaf engga sengaja. Mbak
engga apa-apa?” Tanya pemuda itu.
“Hmm,
tidak apa-apa mas. Memang tadi krlnya melaju terlalu kencang, jadi ngeremnya
terlalu pakem juga,” jawabku.
Kaki
ku terinjak oleh pemuda itu ketika krl mengerem tadi. Memang tidak begitu
sakit, tapi deg-degannya masih berasa.
“Iya tumben-tumbennya masinis
ngebut, seperti mau ambil gaji. Hehehe” candanya.
“Ambil
gaji sih boleh, tapi jangan korbankan keselamatan penumpang juga,” ucapku
“sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Benarkah?” bingung pemuda itu.
“Benar, aku pernah melihatmu
sebelumnya,” tegas ku.
***
L
|
iputan
ke daerah Pasar Tanah Abang. Tempat yang ramai, sesak penjual dan pembeli, juga
kendaraan yang berbaris tak karuan di badan jalan. Masih banyak saja orang yang
parkir sembarangan dan mengganggu hak pengguna jalan lain hingga akhirnya
menimbulkan kemacetan.
Di
sisi lain, terlihat kerumunan orang dipinggir jalan. Ternyata sedang ada diskon
untuk pembelian celana dan baju. Tidak lain dan tidak bukan kerumunan itu mayoritas
ibu-ibu dengan kantung belanjaan yang besar. Mereka berebut untuk mendapat
barang pilihan mereka.
“Sedang
apa pemuda itu berdiri dibelakang salah seorang ibu?” Nadaku heran.
Pemuda
dengan gitar kecil ditangannya itu kuperhatikan sejak tadi, hanya mondar-mandir
di sekitar kerumunan.
“Ada
yang tak beres nih,” mencoba memperhatikannya dari dekat.
Benar
saja. Ternyata dia ingin mencopet dompet salah seorang ibu yang di taruh dalam
kantung belanjaan. Sebelum dompet itu diambil, aku berlari dan menarik copet
tersebut menjauh dari kerumunan.
“Hei!
Apa-apaan ini? Kau siapa? Mengapa kau menarikku?” Tanyanya kesal.
“Kalau
jadi copet, yang pintar dong! Kamu sadar
engga, disana itu ramai. Kalau kau mencopet dan ketahuan, kau akan dihabisi
massa. Mau mati sia-sia?”
“Itu
menjadi urusankku, kau tak usah ikut campur!”
“Aku
mencoba menyelamatkanmu, kau masih muda! Masih banyak yang bisa kau lakukan
selain mencopet. Apa orang tuamu juga mengajarkan hal yang sama? Apa orang
tuamu akan bangga melihatmu seperti ini? Kalau uang menjadi masalahnya, apa
dengan melakukan hal ini kau akan menjadi kaya? Kalau sudah kaya apa batinmu
juga akan merasa kaya?”
Emosiku tak tertahan kepadanya sedangkan dia
hanya bisa menatapku. Kesal dan penyesalan tergambar di matanya.
“Kenapa
kau diam saja? Hei, aku bicara kepadamu”
“Sebenarnya
mencopet bukan pekerjaan harianku. Aku hanya seorang pengamen dari bis ke bis.
Ibuku sedang sakit, Adikku meninggal tertabrak saat turun dari bis, dan Ayahku entah kemana. Tak banyak yang bisa ku
lakukan. Aku butuh uang untuk membawa ibuku kerumah sakit. Dia satu-satunya
yang aku punya saat ini, aku tak mau dia pergi,” matanya berbinar “Jadi, kau
tak berhak menghalangiku!” Pemuda itu membalikan badan dan menjauh.
“Tunggu...!”
Teriakku, “Ibumu sedang mendoakan dan menunggumu dirumah!”
Tak
berkata apapun, langkahnya semakin cepat, kemudian pergi.
***
“aku lupa, Kapan? Dimana?” Pemuda
itu semakin bingung.
Aku
mencoba meyakininya “Kita pernah bertemu di Pasar Tanah Abang. Kau pemuda yang
waktu itu ku pergoki akan mencopet kan?” Tanyaku.
“Oh iya, aku ingat. Kau perempuan
yang menarikku tiba-tiba dan lalu memarahi ku!”
“hehehe..
Maaf soal hal itu,” menunduk malu “Oh iya, Aku Vien.” Sambil mengulurkan
tangan.
“Aku Krisna,”
“Kau
sudah tidak mencopet lagi kan?”
“Tentu
tidak! Perkataanmu itu terus terngiang
ditelingaku. Pasti karena waktu memarahiku, suaramu terlalu kencang,” ledeknya.
“Maksudmu?”
“Hehehe..
tidak ada maksud apa-apa. Semenjak saat itu, aku mencoba mengubah hidupku
dengan mencari pekerjaan yang lebih layak. Aku melamar menjadi penyanyi kafe dan
lolos. Sampai sekarang, pekerjaanku ya
seperti ini, ngamen dari panggung ke
panggung, dari kafe ke kafe.” Jelasnya dengan bahagia.
“Really?
Lalu bagaimana keadaan ibumu?’ tanyaku lembut.
“Bersyukur,
penyakit ibuku semakin hari semakin membaik. Kini beliau sudah masuk tahap
pemulihan. Aku juga sudah mulai mencicil
rumah yang lebih layak untuknya.”
“Wah,
kau hebat! Pasti ibumu bangga punya anak seperti kau. Baru saja 6 bulan lalu
aku melihat kau mondar-mandir ditengah kerumunan. Penampilanmu begitu berubah
dari waktu itu. Sekarang kau lebih
rapih.”
“Terimakasih
vi. Penampilanmu juga berbeda. Kau terlihat lebih cantik...” Pujinya dengan
senyum.
***
0 Komentar :
Post a Comment