Aku Melihatnya, Aku Mengingatnya (2)

Sunday, March 8, 2015

Aku Melihatnya, Aku Mengingatnya (2)





Naluri jurnalis semakin bertambah. Mencoba menutupi rasa penasaran, aku berjalan mendekatinya. Hanya mendekat dan berdiri jarak 2 meter darinya. Semakin dekat, semakin jelas kupandang. Rasa aneh, masih terkumpul di otakku. Ingin menyapa, tapi tak bisa apa-apa. Mungkin lain waktu.

          
           “Jalur 4, masuk Commuterline tujuan Bekasi.” Petugas stasiun.

Kereta Bekasi siang itu lumayan ramai. Aku berdiri di depan bangku penumpang. Tak disangka, ternyata pemuda itu berdiri tepat di sebelah ku. Jantung ku seakan berpacu dengan laju kereta. Deg-degan tidak karuan.

            “Oh.. Tuhan, siapa sebenarnya pemuda ini?” 

Aku sibuk berfikir siapa dia, dia sibuk dengan telepon genggamnya. Memandang keluar jendela baru sadar tumben-tumbennya krl jalan begitu cepat, biasanya tak sekencang ini. Aku larut dalam lamunan suatu kejadian yang tergambar dari bayang kaca.

            “Duh..” Jerit ku. Krl tiba-tiba mengerem dengan kencang, membuat kaget seluruh penumpang.
            “Maaf mbak, maaf engga sengaja. Mbak engga apa-apa?” Tanya pemuda itu.
            “Hmm, tidak apa-apa mas. Memang tadi krlnya melaju terlalu kencang, jadi ngeremnya terlalu pakem juga,” jawabku.
Kaki ku terinjak oleh pemuda itu ketika krl mengerem tadi. Memang tidak begitu sakit, tapi deg-degannya masih berasa.
            “Iya tumben-tumbennya masinis ngebut, seperti mau ambil gaji. Hehehe” candanya.
“Ambil gaji sih boleh, tapi jangan korbankan keselamatan penumpang juga,” ucapku “sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya?”
            “Benarkah?” bingung pemuda itu.
            “Benar, aku pernah melihatmu sebelumnya,” tegas ku.

***

L
iputan ke daerah Pasar Tanah Abang. Tempat yang ramai, sesak penjual dan pembeli, juga kendaraan yang berbaris tak karuan di badan jalan. Masih banyak saja orang yang parkir sembarangan dan mengganggu hak pengguna jalan lain hingga akhirnya menimbulkan kemacetan.

Di sisi lain, terlihat kerumunan orang dipinggir jalan. Ternyata sedang ada diskon untuk pembelian celana dan baju. Tidak lain dan tidak bukan kerumunan itu mayoritas ibu-ibu dengan kantung belanjaan yang besar. Mereka berebut untuk mendapat barang pilihan mereka. 

“Sedang apa pemuda itu berdiri dibelakang salah seorang ibu?” Nadaku heran.
Pemuda dengan gitar kecil ditangannya itu kuperhatikan sejak tadi, hanya mondar-mandir di sekitar kerumunan.
“Ada yang tak beres nih,” mencoba memperhatikannya dari dekat.
Benar saja. Ternyata dia ingin mencopet dompet salah seorang ibu yang di taruh dalam kantung belanjaan. Sebelum dompet itu diambil, aku berlari dan menarik copet tersebut menjauh dari kerumunan.
“Hei! Apa-apaan ini? Kau siapa? Mengapa kau menarikku?” Tanyanya kesal.
“Kalau jadi copet, yang pintar dong! Kamu  sadar engga, disana itu ramai. Kalau kau mencopet dan ketahuan, kau akan dihabisi massa. Mau mati sia-sia?”
“Itu menjadi urusankku, kau tak usah ikut campur!”
“Aku mencoba menyelamatkanmu, kau masih muda! Masih banyak yang bisa kau lakukan selain mencopet. Apa orang tuamu juga mengajarkan hal yang sama? Apa orang tuamu akan bangga melihatmu seperti ini? Kalau uang menjadi masalahnya, apa dengan melakukan hal ini kau akan menjadi kaya? Kalau sudah kaya apa batinmu juga akan merasa kaya?”
 Emosiku tak tertahan kepadanya sedangkan dia hanya bisa menatapku. Kesal dan penyesalan tergambar di matanya.
“Kenapa kau diam saja? Hei, aku bicara kepadamu”
“Sebenarnya mencopet bukan pekerjaan harianku. Aku hanya seorang pengamen dari bis ke bis. Ibuku sedang sakit, Adikku meninggal tertabrak saat turun dari bis, dan  Ayahku entah kemana. Tak banyak yang bisa ku lakukan. Aku butuh uang untuk membawa ibuku kerumah sakit. Dia satu-satunya yang aku punya saat ini, aku tak mau dia pergi,” matanya berbinar “Jadi, kau tak berhak menghalangiku!” Pemuda itu membalikan badan dan menjauh.
“Tunggu...!” Teriakku, “Ibumu sedang mendoakan dan menunggumu dirumah!”
Tak berkata apapun, langkahnya semakin cepat, kemudian pergi.

***

            “aku lupa, Kapan? Dimana?” Pemuda itu semakin bingung.
Aku mencoba meyakininya “Kita pernah bertemu di Pasar Tanah Abang. Kau pemuda yang waktu itu ku pergoki akan mencopet kan?” Tanyaku.
            “Oh iya, aku ingat. Kau perempuan yang menarikku tiba-tiba dan lalu memarahi ku!”
“hehehe.. Maaf soal hal itu,” menunduk malu “Oh iya, Aku Vien.” Sambil mengulurkan tangan.
“Aku Krisna,”
“Kau sudah tidak mencopet lagi kan?”
“Tentu tidak! Perkataanmu itu  terus terngiang ditelingaku. Pasti karena waktu memarahiku, suaramu terlalu kencang,” ledeknya.
            “Maksudmu?”
“Hehehe.. tidak ada maksud apa-apa. Semenjak saat itu, aku mencoba mengubah hidupku dengan mencari pekerjaan yang lebih layak. Aku melamar menjadi penyanyi kafe dan lolos. Sampai sekarang,  pekerjaanku ya seperti ini, ngamen dari panggung ke panggung, dari kafe ke kafe.” Jelasnya dengan bahagia.
            Really? Lalu bagaimana keadaan ibumu?’ tanyaku lembut.
“Bersyukur, penyakit ibuku semakin hari semakin membaik. Kini beliau sudah masuk tahap pemulihan. Aku juga sudah  mulai mencicil rumah yang lebih layak untuknya.”
“Wah, kau hebat! Pasti ibumu bangga punya anak seperti kau. Baru saja 6 bulan lalu aku melihat kau mondar-mandir ditengah kerumunan. Penampilanmu begitu berubah dari waktu itu. Sekarang kau  lebih rapih.”
“Terimakasih vi. Penampilanmu juga berbeda. Kau terlihat lebih cantik...” Pujinya dengan senyum.
***

0 Komentar :

Post a Comment